https://sibolga.times.co.id/
Kopi TIMES

Teknologi dan Kearifan Lokal: Menyelamatkan Sumber Daya Air di Tengah Perubahan Iklim

Minggu, 30 Juni 2024 - 15:44
Teknologi dan Kearifan Lokal: Menyelamatkan Sumber Daya Air di Tengah Perubahan Iklim Rahmi Awallina, S.TP., MP., Dosen Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas

TIMES SIBOLGA, PADANG – Perubahan iklim kini semakin menarik perhatian berbagai pihak. Fenomena ini berdampak pada peningkatan frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem, curah hujan, suhu, serta kenaikan permukaan air laut. Akibatnya, keparahan kekeringan meningkat dan menyebabkan kekurangan air, baik pada musim kemarau maupun penghujan di wilayah yang kekurangan air. Curah hujan yang tinggi, dikombinasikan dengan berkurangnya daerah resapan, meningkatkan aliran permukaan dan risiko banjir, sekaligus mengurangi simpanan air tanah.

Selain itu, suhu yang lebih tinggi menyebabkan meningkatnya kebutuhan air, terutama di sektor pertanian yang menjadi pengguna air terbesar, yang memengaruhi ketersediaan sumber daya air secara signifikan dari waktu ke waktu. Kenaikan permukaan air laut juga berdampak pada ketersediaan air di wilayah pesisir, dengan meningkatkan water table pada akuifer, yang pada gilirannya meningkatkan limpasan permukaan dan mengurangi pengisian kembali akuifer. Perubahan iklim mempengaruhi sumber daya air permukaan dan air tanah melalui perubahan curah hujan dan evapotranspirasi, baik secara spasial maupun temporal.

Dalam sektor sumber daya air, perubahan iklim memicu meningkatnya tinggi gelombang, abrasi pantai, dan meluasnya area yang terdampak intrusi air laut. Dampak ini mencakup krisis air bersih di perkotaan, kerawanan pangan, peningkatan frekuensi penyakit, perubahan pola curah hujan, dan meningkatnya risiko bencana. Indonesia, meskipun memiliki sumber air potensial terbesar kelima di dunia, menghadapi distribusi yang tidak merata. 

Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara berada dalam kondisi kritis dalam hal ketersediaan air, dengan rata-rata nasional mencapai 88,3 ribu m³/detik atau setara dengan 2,78 triliun m³ per tahun. Potensi air terbesar terdapat di Pulau Papua dengan 29%, sedangkan yang terkecil di Pulau Bali dan Nusa Tenggara dengan hanya 1%.

Walaupun sumber daya air nasional cukup besar, air sering kali menjadi hambatan dalam menjaga kestabilan dan keberlanjutan produksi pertanian di Indonesia. Kendala ini disebabkan oleh rendahnya efisiensi pengelolaan dan pemanfaatan air serta perbedaan ketersediaan air antar pulau. Di sektor pertanian, pengelolaan sumber daya air terpadu sangat penting untuk meningkatkan indeks pertanaman dan produksi pangan guna menghadapi ancaman kelangkaan air. 

Oleh karena itu, diperlukan model pengelolaan air terpadu untuk mendukung peningkatan indeks pertanaman dan produksi pertanian. Ketersediaan air di masa mendatang dapat dianalisis menggunakan model neraca air spasial berbasis grid. Model ini, bersama dengan model iklim global, dapat memprediksi ketersediaan air saat ini dan di masa depan untuk skema irigasi pada berbagai skenario perubahan iklim. Dalam beberapa tahun terakhir, analisis dampak perubahan iklim terhadap sumber daya air telah dilakukan menggunakan model iklim global dalam berbagai skenario.

Tinjauan mengenai dampak perubahan iklim terhadap ketersediaan sumber daya air di berbagai wilayah, termasuk daerah aliran sungai (DAS) dan satuan wilayah sungai (WS), masih relatif jarang dilakukan. Untuk membantu masyarakat beradaptasi dengan perubahan iklim, teknologi adaptasi dirancang dan diterapkan. Inovasi teknologi ini diperkenalkan dan diintegrasikan dengan kearifan lokal melalui transfer pengetahuan dan sosialisasi, serta pendampingan, yang disepakati bersama agar implementasi teknologi tersebut dapat berkelanjutan.

Di Indonesia, dampak perubahan iklim meliputi: Pertama, peningkatan suhu udara di seluruh wilayah, meskipun dengan laju yang lebih lambat dibandingkan wilayah subtropis. Kedua, peningkatan curah hujan di musim kemarau di wilayah utara khatulistiwa, sementara wilayah selatan mengalami penurunan. Ketiga, kenaikan permukaan air laut. 

Selain memicu kekeringan atau banjir ekstrem, suhu permukaan atmosfer yang meningkat juga menyebabkan kenaikan suhu air laut, berdampak pada perluasan volume air laut, serta mencairnya gletser dan es di kutub. Akibatnya, kenaikan permukaan air laut dapat mengancam kualitas hidup di daerah pesisir.

Untuk memahami dampak perubahan iklim pada sumber daya air, penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebabnya terlebih dahulu. Selanjutnya, strategi adaptasi yang tepat akan dirancang melalui pemodelan dampak perubahan iklim terhadap sumber daya air. Tiga faktor utama yang menunjukkan perubahan iklim pada sumber daya air meliputi: (1) perubahan pola aliran sungai global; (2) dampak perubahan iklim terhadap pola hidrologi wilayah; dan (3) ancaman yang timbul akibat perubahan iklim pada sumber daya air. 

Prediksi dampak perubahan iklim terhadap ketersediaan sumber daya air dilakukan dengan berbagai skenario melalui penggunaan sistem model MOSAICC (Modelling System for Agricultural Impacts of Climate Change). Kajian hidrologi dan pemodelan memanfaatkan model hidrologi STREAM (Spatial Tools for River Basins and Environment and Analysis of Management Options), yang terintegrasi dalam kerangka MOSAICC. STREAM adalah model neraca air berbasis grid yang secara spasial menggambarkan siklus hidrologi dalam DAS sebagai rangkaian kompartemen penyimpanan dan aliran.

Belakangan ini, semakin disadari pentingnya kebijakan dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi yang melibatkan peran aktif petani. Sejarah menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya air di Indonesia telah berkembang selama berabad-abad melalui pendekatan teknologi tradisional (indigenous) dan partisipatif. Contoh pengelolaan air yang berbasis budaya petani mencakup sistem Subak di Bali, Tudang Sipulung di Sulawesi Selatan, dan Kapalo Banda di Sumatera Barat, yang masih dilestarikan hingga kini.

Di Sumatera Barat, irigasi dengan pendekatan keberlanjutan sebenarnya merupakan peradaban lama yang berbasis kearifan lokal, umumnya dikenal sebagai Banda. Kearifan ini masih dipelihara di banyak daerah dalam konteks pertanian. Beberapa contohnya dapat ditemukan di Jorong Situgar Nagari Tanjung Bonai, Kecamatan Lintau Buo Utara, dan Nagari Sabu, Kecamatan Batipuh. 

Hasil penelitian di Jorong Situgar Nagari Tanjung Bonai menunjukkan bahwa alat pembagi air proporsional paraku mampu mendistribusikan air secara adil dan merata untuk mengairi lahan sawah petani. Irigasi tradisional dengan teknologinya bukan hanya sekedar alat ciptaan manusia, tetapi juga mencakup berbagai ide, gagasan, nilai, peraturan, serta pola aktivitas masyarakat pendukungnya.

Salah satu cara yang dapat diimplementasikan adalah teknologi panen air, yang bertujuan menampung air pada musim kemarau untuk digunakan pada musim hujan atau kondisi kekeringan. Selain untuk irigasi, panen air bermanfaat dalam pengisian kembali air tanah (groundwater recharge) dan mengurangi risiko banjir. Di sektor pertanian, embung, dam parit, dan long storage telah banyak dimanfaatkan untuk irigasi, terutama untuk tanaman pangan dan hortikultura. 

Embung telah lama digunakan, sementara dam parit dan long storage kini banyak dikembangkan. Embung telah digunakan baik secara individu, kelompok tani, maupun gabungan kelompok tani. Dam parit telah berkembang di berbagai wilayah, termasuk Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan. Konsep dam parit bertingkat (channel reservoir in cascade) diterapkan untuk memaksimalkan pemanfaatannya dengan membangun beberapa dam parit dalam satu aliran sungai.

Pengintegrasian kedua pendekatan ini tidak hanya mendukung keberlanjutan sumber daya air, tetapi juga memberdayakan masyarakat setempat dengan memperkuat kapasitas adaptasi mereka. Panen air, embung, dam parit, dan long storage adalah contoh bagaimana teknologi modern dapat diterapkan sejalan dengan praktik-praktik tradisional untuk menampung dan mendistribusikan air secara efisien, terutama dalam kondisi kekeringan dan musim hujan.

Keselarasan antara teknologi dan kearifan lokal membuktikan bahwa pendekatan adaptasi yang menggabungkan inovasi dan tradisi dapat menciptakan sistem pengelolaan air yang lebih tangguh dan berkelanjutan. Dengan dukungan kebijakan yang tepat dan partisipasi aktif masyarakat, sinergi ini dapat menjadi model unggulan dalam menghadapi krisis air akibat perubahan iklim, memastikan ketersediaan air yang memadai dan merata untuk kebutuhan masa kini dan masa depan. (*)

***

*) Oleh : Rahmi Awallina, S.TP., MP., Dosen Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Sibolga just now

Welcome to TIMES Sibolga

TIMES Sibolga is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.